"rasa aman dan terlindungi dari bencana adalah hak asasi rakyat"

Minggu, 16 Oktober 2011

Relawan Penanggulangan Bencana Indonesia

Jatinangor, Sumedang, 14 Oktober 2011 
Sebagai wujud dari penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa penanggung jawab penanggulangan bencana (PB) bukan hanya tugas pemerintah saja, tetapi dunia usaha dan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam PB, yaitu salah satunya dengan menjadi relawan PB. Oleh karena itu pengembangan jumlah dan mutu relawan jadi penting.
“Ada sejumlah 18.000 relawan PB yang telah diinvetarisasi dan disertifikasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Agar pengelolaan dan pembinaan relawan PB dapat berjalan dengan lebih baik maka BNPB sedang menyiapkan Pedoman Penyelenggaraan Relawan PB, “demikian papar Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Ir. H. Medi Herlianto, CES, MM., dalam acara “Gelar Relawan Penanggulangan Bencana Tahun 2011” di Bumi Perkemahan Kiara Payung, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Jumat malam (14/10). Acara dengan tema ‘Relawan Menjadi Pilar Penting dalam Penanggulangan Bencana’ ini diikuti oleh lebih dari 400 peserta relawan PB yang berasal dari 25 organisasi sosial masyarakat dan 16 lembaga usaha, 6 perguruan tinggi dan Instansi Pemerintah dari Jakarta dan Jawa Barat.
Acara dalam Gelar Relawan PB ini meliputi
(1) Apel Siaga gelar relawan,
(2) Diskusi Cluster,
(3) Pembelajaran cluster relawan,
(4) Simulasi PB,
(5) Sertifikasi relawan,
(6) Api unggun dan Refleksi Kegiatan, serta
(7) Informasi dan media komunikasi.
Pada acara ini juga terdapat pameran kebencanaan yang diikuti oleh lembaga usaha dan organisasi serta instansi pemerintah dan perguruan tinggi dengan menampilkan beberapa informasi kebencanaan dan peralatan pendukung kebencanaan. Medi Herlianto mengatakan, “Pengertian relawan PB adalah seseorang atau sekelompok orang, yang memiliki kemampuan dan kepedulian dalam PB yang bekerja secara ikhlas untuk kegiatan PB. Prinsip kerja yang mendasari relawan adalah mandiri, profesional, solidaritas, sinergi dan akuntabilitas. Para relawan PB tersebut mempunyai hak, kewajiban dan peran dalam upaya penyelenggaraan PB. Persyaratan untuk dapat menjadi relawan PB adalah sebagai berikut:
1. 1. Warga Negara Indonesia (WNI) usia min. 18 tahun.
2. 2. Sehat jasmani dan rohani.
3. 3. Berdidekasi tinggi dalam kerelaan.
4. 4. Mandiri dan koordinatif.
5. 5. Memiliki pengetahuan, keahlian dan ketrampilan tertentu dalam kebencanaan.
6. 6. Tidak dalam masalah pidana dan subversi.
7. 7. Punya lembaga induk pembina.
8. 8. Telah mengikuti kegiatan pelatihan dasar PB.

Hak kewajiban relawan PB antara lain:
1. 1. Mendapatkan pengakuan atas peran dan tugasnya sesuai ketrampilan dan keahliannya.
2. 2. Mendapatkan pengetahuan tentang PB.
3. 3. Mengundurkan diri sebagai relawan.
4. 4. Hak sesuai dengan aturan atau ketentuan lembaga yang menangunginya

Kewajiban relawan PB
1. 1. Melakukan kegiatan PB.
2. 2. Mentaati peraturan dan prosedur yang berlaku.
3. 3. Menjunjung tinggi azas dan prinsip kerja relawan.
4. 4...Mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan.
5. 5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan.
6. 6. Menyediakan waktu untuk melaksanakan tugas kemanusiaan. Medi Herlianto menekankan bahwa peran relawan tidak hanya pada saat tanggap darurat saja, tapi relawan juga terlibat di semua tahap penanggulangan bencana baik pada pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Peran relawan PB pada saat pra bencana adalah mendukung penyusunan kebijakan, perencanaan, pengurangan risiko bencana, upaya pencegahan dan kesiapsiagaan serta peningkatan kapasitas bagi masyarakat melalui bimbingan dan pelatihan (coaching and training).

Peran relawan PB pada saat tanggap darurat antara lain:
  1. Setiap relawan yang hadir di lokasi bencana: dalam koordinasi/komando organisasi Incident Command System (ICS), melaksanakan tugas sesuai dengan keahliannya, serta jelas fungsi dan perannya. 
  2. Mendukung kegiatan-kegiatan pada tanggap darurat seperti rescue dan evakuasi, kesehatan, logistik, dumlap dan pendataan. Sementara itu peran relawan PB pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana antara lain: 
  • Perbaikan darurat. 
  • Pembuatan hunian sementara (huntara). 
  • Pemberian kebutuhan dasar korban bencana: 
  • Pelayanan kebutuhan pangan. 
  • Pelayanan kebutuhan sandang. 
  • Pelayanan kebutuhan kesehatan. 
  • Pelayanan kebutuhan air bersih dan sanitasi. Pemulihan sosial psikologis. 
Untuk pengerahan relawan PB dilakukan secara mandiri dan atau oleh pemerintah. Pengerahan secara mandiri/swadaya dilakukan oleh individu dan kelompok. Sedangkan pengerahan oleh pemerintah dilakukan dengan cara melalui induk organisasi induknya, melalui induk pembinanya dan melalui pembina teknisnya. Untuk memudahkan pengelolaan dan pembinaan relawan PB maka sumber daya relawan ini dibagi menjadi sistem klaster (cluster) atau kelompok kerja. Ada 9 (sembilan) cluster yang membidangi kerja-kerja relawan PB antara lain:
1. Klaster (cluster) Tim Reaksi Cepat (TRC).
2. Klaster (cluster) Pos Komando/Koordinasi (Posko).
3. Klaster (cluster) Medis.
4. Klaster (cluster) Logistik.
5. Klaster (cluster) Evakuasi.
6. Klaster (cluster) Shelter.
7. Klaster (cluster) Dapur Umum.
8. Klaster (cluster) Psikososial.
9. Klaster (cluster) Komunikasi.

--- dp --- Sumber :Djuni Pristiyanto

Sabtu, 09 April 2011

Apa arti teman dan sahabat

Teman dan sahabat, apa bedanya. Menurut saya jelas keduanya sangat berbeda. Dari susunan kalimatnya saja sudah jauh berbeda. Kalau menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer” teman mempunyai makna sebagai ”sesama teman harus saling membantu”. Sedangkan sahabat atau persahabatan, masih menurut kamus itu adalah ”persahabatan yang kekal tidak akan bisa dibeli dengan uang”.
Coba saya sedikit ngasih analisa tentang dua pengertia diatas, dan juga akan saya coba bandingkan dengan kehidupan nyata di dunia ini. Pertama teman, sesama teman harus saling membantu. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian ini, karena menurut saya kenyataannya bahwa teman tidak seperti itu. Teman menurut saya lebih pada pengertian yang sempit. Seperti teman bermain, teman bekerja, teman tidur dan teman-teman yang lain, hanya sebatas teman. Teman bermain ya hanya teman bermain saja, teman bekerja ya hanya teman bekerja saja. Pertemanan hanya sebatas ruang lingkup itu saja, dan kalau sudah diluar itu maka bisanya tidak akan ada hubungan apa-apa lagi. Biasanya teman tidak akan atau tidak mau merasakan apa yang sedang di rasakan oleh teman yang lainnya. Mereka cenderung tidak mau peduli, walapun tidak semuanya seperti itu.
Namun dari sekian teman itu, ada satu teman yang sangat bagus yaitu teman hidup. Namanya saja teman hidup, berarti susah senang akan dilalui bersama. Teman hidup di sini saya bisa mengartikannya sebagai jodoh (isteri atau suami). Kalau teman yang satu ini pasti akan berbeda dengan teman-teman yang lain.
Selanjutnya persahabatan, ”persahabatan yang kekal tidak akan bisa dibeli dengan uang”. Saya setuju dengan ini, karena memang persahabatan harus seperti itu. Dan kalau boleh saya kasih tingkatan, teman dulu baru persahabatan. Untuk mencari sahabat ini sangat susah, jujur sampai saat ini saya belum menemukan di dunia ini arti sebuah persahabatan. Saya sering kali hanya menemukannya arti dari teman. Karena hanya sebatas teman. Persabahatan hampir sama dengan jodoh, namun kalau di sini bukan isteri atau suami kita. Sahabat biasanya mengerti betul apa yang kita rasakan, baik itu sedih atau duka. Sahabat akan membantu kita jika kita ada masalah, tidak melihat kita ada uang atau tidak, tidak melihat kita pinter atau tidak, tidak melihat kita cakep atau tidak, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Mencari teman itu gampang, namun mencari sahabat itu sangat susah. Seperti di sebuah lirik lagu ”raja dangdut” mencari teman itu mudah apa bila untuk teman suka, mencari teman itu susah apa bila untuk teman duka. Benar pak haji, mencari teman itu mudah kalau untuk bersenang-senang. Kita punya duit, punya kendaraa, saya yakin gampang sekali mencari teman. Tetapi apabila kita sedang tidak ada duit cendrung mereka akan meninggalkan kita. Nah mencari teman untuk duka/susah itu yang paling susah. Mana ada teman yang mau diajak untuk susah, mana ada teman yang mau mengerti dengan masalah kita.
Hanya sahabat yang mengerti dan memahami kita. Baik di dalam susah atau senang. Hanya sahabat yang mau membantu kita di saat kita menemui persoalan.
Sahabat dan teman jelas berbeda !!

Minggu, 16 Januari 2011

DASAR PEMBENTUKAN BPBD

PEMBENTUKAN BPBD BERDASAR PERMENDAGRI 46/2008 DAN PERKA BNPB 3/2008
oleh : Okim Nr 
Pada tanggal 22 Oktober 2008 keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Permendagri 46/2008). Dan pada tanggal 11 November 2008 keluar Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Perka BNPB 3/2008). Perka BNPB 3/2008 ini baru dapat diakses olhe penulis pada tanggal 20 Februari 2009, sehingga analisis pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan berdasarkan kedua peraturan tersebut.

Makalah ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari makalah penulis yang berjudul “Pembentukan BPBD Berdasar Permendagri No. 46 Tahun 2008” tanggal 2 November 2008. Sekarang menjadi lebih lengkap pembahasan pembentukan BPBD berdasarkan Permendagri 46/2008 dan Perka BNPB 3/2008.

APA ITU BPBD?

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah sebuah lembaga khusus yang menangani penanggulangan bencana (PB) di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Di tingkat nasional ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB dan BPBD dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007). Dengan adanya BNPB maka lembaga PB sebelumnya, yaitu Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) dibubarkan (Pasal 82, ayat 2 UU 24/2007). Dengan demikian pembubaran Bakornas PB membawa implikasi juga dibubarkannya rantai komando/koordinasi Bakornas di daerah seperti Satuan Koordinasi Pelaksana Penangangan Bencana (Satkorlak PB) dan Satuan Pelaksana Penanganan Bencana (Satlak PB) bila nantinya sudah dibentuk BPBD.

Fungsi BPBD adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan PB dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta melakukan pengoordinasian pelaksanaan kegiatan PB secara terencana, terpadu, dan menyeluruh (Pasal 20 UU 24/2007).

Sementara itu tugas-tugas BPBD ada sembilan buah (Pasal 21 UU 24/2007), antara lain:
  1. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha PB yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.
  2. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan PB berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
  3. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.
  4. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
  5. Melaksanakan penyelenggaraan PB pada wilayahnya.
  6. Melaporkan penyelenggaraan PB kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.
  7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
  8. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  9. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
BNPB dibentuk oleh Pemerintah Pusat (Pasal 10, ayat 1 UU 24/2007) yang kedudukannya merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (Pasal 10, ayat 2 UU 24/2007). Sementara itu BPBD dibentuk oleh Pemerintah Daerah (Pasal 18, ayat 1 UU 24/2007); di tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib (Pasal 18, ayat 2a UU 24/2007) dan di tingkat kabupaten/kota BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa (Pasal 18, ayat 2b UU 24/2007). Pejabat setingkat eselon Ib di tingkat provinsi dan pejabat setingkat eselon IIa di tingkat kabupaten/kota adalah setara dengan Sekretaris Daerah (Sekda). Hal ini menimbulkan dilema karena jabatan setingkat Sekda adalah satu-satunya di pemerintahan daerah. Oleh karena itu selama beberapa waktu muncul sebentuk kekuatiran di kalangan para pejabat di pemerintah daerah, yaitu jangan sampai nanti ada “matahari kembar”.

APA LANDASAN HUKUM PEMBENTUKAN BPBD?


Secara teknis pembentukan BPBD diatur dengan Permendagri 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan Perka BNPB 3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD. Payung hukum tertinggi pembentukan BPBD adalah UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Permendagri 46/2008 ini mengacu kepada Pasal 25 UU 24/2007,  dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP 41/2007), Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (PP 38/2007), Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2008 (Permendagri 25/2008).

Sedangkan Perka BNPB 3/2008 mengacu pada UU 32/2004, UU 24/2007, PP 38/2007, PP 41/2008, PP 21/2008, PP 22/2008, PP 23/2008, Perpres 8/2008, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB 1/2008), Permendagri 46/2008.

Ada yang aneh dengan landasan hukum ini. UU 24/2007 dikeluarkan pada tanggal 26 April 2007. PP 41/2007 dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2007. Ada selisih sekitar tiga bulan dari waktu dikeluarkannya UU 24/2007 dengan PP 41/2007. Akan tetapi dalam PP 41/2007 tidak ada satu pun kata "bencana" dan "penanganan/penanggulangan bencana" dan oleh karenanya tidak masuk ke dalam urusan wajib maupun urusan pilihan. Di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota tidak ada landasan hukum untuk membentuk lembaga yang menangani penanggulangan bencana secara tersendiri entah itu berbentuk badan, dinas, kantor, inspektorat ataupun lembaga teknis lainnya.

Sementara itu Pasal 25 UU 24/2007 berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah diatur dengan Peraturan Daerah." Pasal 25 UU 24/2007 ini lebih mengatakan bahwa pembentukan BPBD diatur dengan Perda, bukan melalui Permendagri 46/2008 ini.

Jadi bagaimana? Kalau mengenai organisasi dan tata kerja BPBD mesti mengacu pada PP 41/2007 itu, tapi di dalam PP 41/2007 itu sendiri tidak ada yang mengutarakan mengenai lembaga yang mengurusi penanggulangan bencana. Apakah mesti merevisi PP 41/2007?

BAGAIMANA CARA MEMBENTUK BPBD?


Tujuan Permendagri 46/2008 ini adalah untuk tertib administrasi dan standarisasi organisasi dan tata kerja BPBD. Tujuan Perka BNPB 3/2008 adalah untuk memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam membentuk BPBD dan mekanisme penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.

BPBD adalah lembaga perangkat daerah dan mesti mengikuti tata aturan dari Kementrian Dalam Negeri. Disini perangkat daerah adalah lembaga yang membantu Kepala Daerah dalam melakukan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sebelum ini sudah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (PP 38/2007) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP 41/2007) sebagai acuan pembentukan dan pengurusan lembaga perangkat daerah, dan BPBD tentu saja mesti mengacu pada pada PP 38/2007 dan PP 41/2007 itu.

Berdasarkan Pasal 2 Permendagri 46/2008, BPBD dibentuk di setiap provinsi dan BPBD dapat dibentuk di setiap kabupaten/kota. Pembentukan BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Perda.

Sedangkan dalam Lampiran Perka BNPB 3/2008 Bab III hanya disebutkan mengenai pembentukan BPBD sebagai berikut:
  1. Untuk menyelenggarakan PB di daerah, Pemerintah Daerah membentuk BPBD.
  2. Pemerintah Provinsi membentuk BPBD Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk BPBD Kabupaten/Kota.
  3. Dalam membentuk BPBD, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan BNPB.
  4. Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk BPBD Kabupaten/Kota, maka tugas dan fungsi PB diwadahi dengan organisasi yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi PB.
  5. Tidak ada masalah pada pembentukan BPBD di tingkat provinsi, karena semua provinsi wajib membentuk BPBD. Masalah timbul dalam pembentukan BPBD di tingkat kabupaten/kota karena ada kata DAPAT pada Pasal 2 Permendagri 46/2008 tersebut. Hal ini berarti kabupaten/kota dapat membentuk BPBD atau pun dapat tidak membentuk BPBD. Tidak ada kriteria yang jelas dalam membentuk atau tidak membentuk BPBD ini bagi kabupaten/kota dalam Permendagri 46/2008.

Arti yang bertentangan dengan Permendagri 46/2008 ini muncul dari Perka BNPB 3/2008 Bab IIIA khususnya Angka 2, yaitu: “…Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk BPBD Kabupaten/Kota.” Hal ini berarti bahwa setiap Kabupaten/Kota harus membentuk BPBD, karena tidak ada klausul “DAPAT” seperti yang terdapat dalam Permendagri 46/2008. Hal itu akan semakin membingungkan bila membaca pada Angka 4 masih dalam peraturan yang sama, yaitu: “Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak membentuk BPBD Kabupaten/Kota, maka tugas dan fungsi PB diwadahi dengan organisasi yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi PB.” Ini artinya adalah bila ada Kabupaten/Kota yang tidak membentuk BPBD. Antara Angka 2 dan Angka 4 kok tidak sinkron maknanya, bagaimana ini?

Hal ini adalah sesuatu yang membingungkan dan siapa yang mesti diikuti karena keduanya (Kementerian Dalam Negeri dan BNPB) adalah lembaga yang sangat berwenang dalam pembentukan BPBD?

Kriteria pembentukan BPBD itu mestinya mengacu pada tingkat risiko bencana di daerah tersebut. Bagi kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko bencana tinggi maka wajib membentuk BPBD kabupaten/kota. Tapi bagi kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko bencana kecil maka tidak wajib membentuk BPBD dan fungsi-fungsi PB dikerjakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sesuai untuk itu (lihat juga point 4 Bab IIIA Perka BNPB 3/2008).

Lembaga yang berwenang di bidang PB adalah BNPB, maka dari itu BNPB mestinya membuat kriteria-kriteria teknis bila suatu kabupaten/kota akan membentuk BPBD atau pun tidak membentuk BPBD. Kriteria-kriteria teknis ini berisi analisa untuk mengetahui tingkat risiko bencana di suatu daerah. Jadi secara tata administratib perangkat daerah BPBD mengacu pada aturan-aturan dari Kementrian Dalam Negeri, dan secara teknis PB BPBD mengacu pada aturan-aturan dari BNPB.

Dalam Pasal 16 Permendagri 46/2008 disebutkan bahwa susunan organisasi unsur pelaksana BPBD kabupaten/kota terdiri atas Klasifikasi A dan Klasifikasi B. Sementara itu penentuan klasifikasi BPBD kabupaten/kota ini ditetapkan berdasarkan beban kerja, kemampuan keuangan dan kebutuhan (Pasal 20 Permendagri 46/2008). Klasifikasi A adalah struktur BPBD dengan sumber daya yang maksimal, sedangkan Klasifikasi B adalah struktur BPBD dengan sumber daya yang minimal. Hal ini bila tidak diimbangi dengan kriteria pembentukan BPBD yang sesuai tingkat risiko bencana, maka akan membawa konsekuensi yang serius.

Contoh. Kabupaten X adalah sebuah daerah yang mempunyai tingkat risiko bencana tinggi;  di daerah ini ada potensi ancaman gempa bumi, longsor, banjir, kekeringan dan tsunami. Oleh karena itu Kabupaten X wajib membentuk BPBD. Tapi kabupaten X merupakan kabupaten yang miskin karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) kecil, potensi sumber daya alamnya rendah dan sumber daya manusianya kurang. Bila melihat skema dari Permendagri 46/2008 itu maka Kabupaten X itu akan ikut Klasifikasi B, yaitu lembaga BPBD dengan struktur yang minimalis dan tentunya dengan anggaran yang kecil pula. Bisa diduga dengan jelas nantinya bahwa Kabupaten X itu tidak akan mampu melakukan PB di daerahnya sendiri. Ibaratnya adalah “orang terbenam hingga ke leher, satu sapuan gelombang saja maka dia akan tenggelam”.

Bagaimana bila pernyataannya dibalik menjadi: “bagi kabupaten/kota yang mempunyai tingkat risiko bencana tinggi, walau daerahnya itu miskin sumber daya, maka kabupaten/kota itu wajib membentuk BPBD dengan Klasifikasi A.” Untuk menambah kekurangan sumber daya maka Pemerintah Pusat dan Provinsi wajib mendukung BPBD kabupaten/kota tersebut agar dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara maksimal. Pemerintah Pusat dan Provinsi mendukung dengan cara penyaluran anggaran, peningkatan kapasitas, pengadaan sarana prasarana, kajian-kajian risiko bencana, dan lain-lain.

BAGAIMANA STRUKTUR BPBD?

OK, misalkan BPBD sudah terbentuk, lalu bagaimana struktur BPBD? BPBD berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan dipimpin oleh Kepala Badan yang secara ex-officio dijabat oleh Sekretaris Daerah (Pasal 3 Permendagri 46/2008). Hal yang senada diatur Perka BNPB 3/2008, yaitu ”Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah.”  Jabatan Sekda yang ex-officio Kepala BPBD ini tampaknya untuk mengatasi dilema “matahari kembar” tersebut di atas.

Dalam pelaksanaan BPBD sehari-hari susunan organisasi BPBD terdiri atas Kepala Badan, Unsur Pengarah dan Unsur Pelaksana. Uraian secara rinci mengenai tugas dan fungsi, uraian pekerjaan, keangotaan dan mekanismenya dan hal-hal terkait dengan susunan organisasi BPBD diatur oleh Permendagri 46/2008 dan Perka BNPB 3/2008.

Unsur Pengarah PB pada BPBD berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala BPBD. Tugas Unsur Pengarah adalah memberikan masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam PB. Sedangkan fungsi Unsur Pengarah adalah membuat rumusan kebijakan PB daerah, melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi dalam penyelenggaraan PB. Ketua Unsur Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD, anggota Unsur Pengarah berasal dari lembaga/instansi pemerintah daerah (badan/dinas terkait dengan PB) dan masyarakat profesional (pakar, profesional dan tokoh masyarakat di daerah). Perka BNPB 3/2008 ini mengatur secara rinci mengenai Unsur Pengarah.

Unsur Pelaksana bertanggung jawab kepada Kepala BPBD dan bertugas membantu Kepala BPBD dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi pelaksanaan BPBD sehari-harinya. Tugas Unsur Pelaksana BPBD adalah melaksanakan PB secara terintegrasi yang meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana. Sedangkan fungsi Unsur Pelaksana BPBD adalah melakukan pengoordinasian, pengkomandoan dan pelaksana. Susunan organisasi Unsur Pelaksana terdiri atas:
  1. Kepala Pelaksana
  2. Sekretariat Unsur Pelaksana
  3. Bidang/seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan
  4. Bidang/seksi Kedaruratan dan Logistik
  5. Bidang/seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Unsur Pelaksana BPBD ini dapat membentuk Satuan Tugas, tapi dalam Permendagri 46/2008 ini tidak diuraikan lebih lanjut mengenai Satuan Tugas itu, uraian yang lebih ditil dapat ditemui pada Perka BNPB 3/2008. Untuk pengisian jabatan Unsur Pelaksana BPBD ini berasal dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keahlian, pengalaman, ketrampilan dan integritas yang dibutuhkan dalam penanganan bencana.

Eselonisasi dan kepegawaian pada BPBD berdasar Permendagri 46/2008 adalah sebagai berikut:

==tabel==


BAGAIMANA DENGAN PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PELAPORAN PB?

Harapan orang-orang yang menyusun dan mendorong disahkannya UU 24/2007 adalah adanya lembaga PB yang berdaya dan kompeten untuk melakukan upaya-upaya PB di Indonesia. Untuk itu sebagai Kepala BPBD yang menangani PB tersebut dipasang pejabat setingkat Sekda. Ternyata dalam praktik timbul masalah dan akhirnya Kepala BPBD dijabat Sekda secara ex-officio. Apa konsekuensi dari hal tersebut? Apakah BPBD akan bisa berdaya dalam melakukan PB? Pertanyaan yang sering diajukan: Apakah Kepala BPBD mampu memerintah TNI/Polri bila terjadi bencana (pelaksanaan fungsi komando)?

Dalam Pasal 33 Permendagri 46/2008 disebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan teknis administratif serta fasilitasi penyelenggaraan PB dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, serta pembinaan dan pengawasan teknis operasional oleh Kepala BNPB dengan berkoordinasi Menteri Dalam Negeri. Dari Pasal 33 itu dapat dilihat bila kekuasaan/wewenang BNPB-BPBD menjadi berkurang oleh Kementerian Dalam Negeri. Tentu saja soal pembinaan dan pengawasan teknis administratif BPBD menjadi tanggung jawab Menteri Dalam Negeri, tapi soal fasilitasi penyelenggaraan PB bukan menjadi bagian Kementerian Dalam Negeri. Fasilitasi penyelenggaraan PB mestinya tetap menjadi wewenang BNPB agar sesuai dengan amanat UU 24/2007. Juga pembinaan dan pengawasan teknis operasional penyelenggaraan PB tetap menjadi wewenang BNPB, dan tentunya dalam pelaksaan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya.

Lampiran Perka BNPB 3/2008 Bab V mengatur mengenai pembinaan, pengawasan dan pelaporan. Pembinaan teknis penyelenggaraan PB dilakukan oleh BPBD/BNPB (tingkat masyarakat oleh BPBD Kabupaten/Kota), tingkat Kabupaten/Kota oleh BPBD Provinsi, dan tingkat provinsi oleh BNPB) secara terpadu berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam rangka pencapaian sasaran dan kinerja PB, dilakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PB di masing-masing daerah yang dilakukan oleh BNPB dan/atau lembaga pengawas sesuai peraturan perundang-undangan. BPBD menyusun laporan penyelenggaraan PB di daerahnya, yang berisi laporan situasi kejadian bencana, laporan bulanan kejadian bencana, dan laporan menyeluruh penyelenggaraan PB.

Pada Lampiran Perka BNPB 3/2008 Bab V juga mengatur mengenai pelaproran bantuan, antara lain:
  1. Laporan penerimaan dan penyaluran bantuan yang berasal dari sumbangan masyarakat.
  2. Laporan pertanggungjawaban dana kontinjensi bencana, dana siap pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah yang berasal dari BNPB.
Upaya dari Kementerian Dalam Negeri untuk membatasi wewenang BNPB semakin tampak bila kita baca Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 38 Tahun 2008 tentang Penerimaan dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan dari dan Kepada Pihak Asing (Permendagri 38/2008). Bila Permendagri 38/2008 benar-benar diterapkan, maka upaya-upaya penyaluran bantuan dalam kondisi tanggap darurat akan menjadi terkendala serius. Organisasi kemasyarakatan yang akan menerima bantuan asing secara langsung mesti melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri (nasional), Menteri Dalam Negeri - gubernur (regional) atau Menteri Dalam Negeri - bupati/walikota (lokal) (Pasal 10 Permendagri 38/2008). Ini akan makan waktu berapa lama dan berapa "ongkos"nya? Dalam situasi bencana, korban-korban mungkin sudah pada meninggal dunia karena lambatnya bantuan. Dalam Permendagri ini juga tidak mengacu (konsideran) kepada UU 24/2007, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP 21/2008), Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bencana (PP 22/2008), Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing NonPemerintah dalam Penanggulangan Bencana (PP 23/2008).


BAGAIMANA AKHIRNYA?

Permendagri 46/2008 dan Perka BNPB 3/2008 ini menjadi acuan utama dalam teknis pembentukan BPBD di daerah-daerah. Namun demikian, dalam beberapa hal masih ditemukan kontradiksi penting dalam kedua peraturan tersebut. Bila kontradiksi-kontradiksi tersebut tidak segera dipecahkan oleh Kementrian Dalam Negeri dan BNPB maka dampaknya pasti akan menghambat terbentuknya BPBD dan yang kemudian akan menghambat penyelenggaraan PB secara umum di Indonesia.
Dikutip dari : www.mpbi.org